Jumat, 26 Desember 2014

Kotagede



Kotagede merupakan Ibukota Kerajaan Mataram Islam Pertama (1577), sebagai penerus Kerajaan Demak dan Pajang. Adat-tradisi yang berkembang saat itu menjadi cikal bakal budaya Jawa Mataraman yang adi luhung dalam arti sebagai sumber kekuatan dalam memberi semangat pengabdian pada Sang Pencipta dan pengabdian pada sesama untuk mencapai keselarasan hidup, kehidupan dan penghidupan.
Walaupun mengalamai berbagai goncangan seiring dengan perkembangan zaman (waktu), namun sisa-sisa budaya leluhur tersebut masih dapat dijumpai sampai saat ini. Kemerosostan tajam budaya Kotagede terjadi sejak pertengahan abad XX sehingga menjadi perhatian dunia yang menetapkan Kawasan Kotagede  menjadi salah satu dari 100 pusaka dunia yang dikhawatirkan akan punah.
Untuk itu pelestarian/ pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Kotagede perlu segera dilakukan agar  bisa bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masayarakat, jati diri daerah, menggugah semangat nasionalisme dan menjaga salah satu pusaka dunia.
Yang unik dalam pengelolaan KCB Kotagede adalah: “Melestarikan pusaka budaya leluhur (masa lalu) yang masih hidup dalam kehidupan masa kini untuk meraih kesejahteraan di masa mendatang”. Hal yang terkandung dalam ungkapan ini adalah:
1.    Adanya hidup/ kehidupan yang berarti tumbuh dan berkembang dengan segala romantika, dinamika dan dialektikanya.
2.   Ada dimensi waktu (masa lalu-masa kini-masa depan) berupa satu rangkaian berkesinambungan dan berkelanjutuan.

Keterlibatan semua pemangku kepentingan perlu digalang untuk mengelola KCB Kotagede ini terutama kemitraan antara Pemerintah, Masyarakat dan Swasta yang sangat diharapkan untuk bersama mewujudkan salah satu visi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sejarah
Sejarah Kotagede dapat dipan­dang menurut periodisasi umum yang berlaku nasional, maupun khusus yang berlaku setempat. Secara umum sejarah setempat dapat dipilah atas beberapa pe­riode, yakni periode keraton Ma­taram, periode Surakarta-Yogya­karta yang berbarengan dengan masa kolonialisme Belanda hingga zaman Jepang, dan periode ke­merdekaan (republik).
Pada awalnya, menurut Babad Ta­nah Jawi, Kotagede didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan di daerah hutan Menthaok, sebagai hadiah dari Sultan Hadiwijaya (raja Pa­jang), karena keberhasilannya ber­sama Ki Penjawi dan dibantu oleh Sutawijaya (anak Ki Ageng Pema­nahan) mengalahkan musuh Pa­jang yaitu Arya Penangsang seba­gai Adipati Jipang. Daerah ini ke­mudian tumbuh menjadi pusat ke­kuasaan Keraton Mataram.
Pada waktu pemerintahan Panem­bahan Senapati (gelar Sutawijaya setelah menjadi raja Mataram), Kotagede dijadikan ibukota keraja­an, namun pada masa Sultan Agung ibukota kerajaan dipindah­kan ke Kerta. Sebagai bekas ibu­kota kerajaan, Kotagede mempu­nyai ciri-ciri khusus, antara lain masih adanya status abdi dalem, peninggalan-peninggalan yang ke­ramat dan bersejarah.
Pada periode kerajaan Surakarta-Yogyakarta, Kotagede menjadi wi­layah bersama. Kehidupan Kota­gede kurang berkembang hingga hadirnya para pengusaha dan pe­rajin. Industri kerajinan dan niaga mencapai keemasannya sejak se­kitar 1900an. Pada saat itu tumbuh perhatian khusus dari kedua kera­jaan tersebut terhadap karya kese­nian dan kerajinan Kotagede yang didukung oleh kemampuan niaga para juragan kerajinan dan pedagang. Produk periode ini adalah munculnya predikat “kota perak” bagi Kotagede. Pada saat itu juga muncul gerakan keagamaan Islam di Kotagede.
Pada masa kemerdekaan, Kotage­de menjadi bagian dari wilayah ko­ta Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Sementara itu kejayaan Kotagede sebagai pusat kerajinan perak dan perniagaan cenderung surut. Pada dekade belakangan perhatian masyarakat setempat beralih dari mengandalkan ketram­pilan dalam industri kerajinan men­jadi mengejar ilmu (pendidikan).


Kotagede, Situs
Merupakan kawasan cagar budaya yang didasarkan pada keberadaan data arkeologi sebagai bekas ibu­kota Mataram yang pertama, dan berkronologi tahun 1582 – 1640 M. Batasan fisik kawasan situs meng­acu kepada batasan fisik kota la­ma, yaitu sebuah kawasan yang dibatasi oleh baluwarti atau tem­bok kota beserta jagang yang ber­ada di luarnya (lihat: Baluwarti). Lokasi situs sekarang kurang lebih 6 Km arah tenggara dari pusat ko­ta Yogyakarta.
Kotagede menjadi pusat pemerin­tahan pada masa Panembahan Senapati hingga sebagian masa Sultan Agung, sehingga pada sa­atnya dahulu banyak terdapat fa­silitas yang berhubungan dengan peran tempat ini sebagai sebuah ibukota kerajaan. Di dalam situs terdapat banyak peninggalan arke­ologis seperti: reruntuhan tembok beteng, reruntuhan cepuri, singga­sana raja, Mesjid Gede, makam raja dan kerabat, kampung adat.
Kotagede menjadi pusat pemerin­tahan Keraton Mataram tidak lama yaitu sekitar 58 tahun, dimulai se­jak jatuhnya Pajang pada tahun 1582 M sampai dengan tahun 1640 M. Pada awalnya, wilayah Mataram merupakan perdikan di bawah ke­kuasaan Kerajaan Pajang. Dalam perkembangannya, Ki Ageng Pe­manahan menyerahkan wilayah Mataram kepada puteranya yang bernama Sutawijaya yang kemudi­an bergelar Raden Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya setelah meng­gantikan ayahnya kemudian mem­bangun tembok keliling untuk memperkuat wilayah Mataram. Se­telah tembok keliling dibangun, Su­tawijaya kemudian menyerang Pa­jang dan berhasil mengalahkan­nya. Selanjutnya Sutawijaya men­jadi raja Mataram yang pertama dan bergelar Senapati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama. Oleh Pa­nembahan Senapati, Kotagede di­tetapkan sebagai pusat pemerin­tahannya. Dalam masa pemerin­tahan Sutawijaya, kerajaan ini me­uaskan kekuasaannya di berbagai wilayah di Jawa.
Dalam masa pemerintahan selama kurang lebih setengah abad, Kota­gede telah menempatkan diri tam­pil dalam panggung sejarah dan kebudayaan di Jawa. Berdasarkan data sejarah, dalam masa yang pendek tersebut Keraton Kotagede telah memiliki tata ruang dan kom­ponen-komponen kota seperti la­zimnya kota-kota pusat pemerin­tahan kerajaan Islam. Kotagede sebagai kota pusat pemerintahan dibuktikan dengan adanya tinggal­an arkeologis, yaitu: keraton atau kedhaton, benteng, tembok keli­ling, jagang, cepuri, Mesjid, pasar, permukiman, dan makam.
Komponen-komponen tersebut merupakan data yang dapat men­cerminkan kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat pendukung­nya, tentunya termasuk kondisi po­litik yang ikut bermain di dalamnya.
Sebagai sebuah kawasan pening­galan purbakala, Kotagede pernah mengalami berada di bawah dua pemerintahan tradisional yang se­cara tradisi memiliki sistem peme­rintahan sendiri, yaitu: 1) Kotage­de Yogyakarta dan 2) Kotagede Surakarta. Oleh karena itu, kawas­an ini sempat disebut sebagai ta­nah mencil atau enclave yaitu su­atau kawasan atau wilayah yang terletak di wilayah pemerintahan lain atau berbeda.
Hal ini dapat dipahami mengingat Kotagede merupakan pusaka bagi Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta. Status ini merupakan kesepakatan yang di­ambil oleh kedua belah pihak de­ngan berlandaskan kepada pemi­kiran bahwa Kotagede merupakan pusaka leluhur bag keduanya, dan di sana terdapat makam pendiri Mataram yang nantinya menurun­kan kedua belah pihak, yaitu Ki Gede Mataram dan Panembahan Senapati.
Adanya dua makam leluhur dari kedua kerajaan baik di Kotagede (Ki Gede Mataram dan Panembah­an Senapati) maupun di Imogiri (Sultan Agung) maka pengelolaan dan pemeliharaan diurus oleh ke­dua belah pihak.

Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 31 Juli 1950 No. C.31/1/5 dan tanggal 1 Juni 1953 No. Pem. 66/29/41, maka enclave Kotagede maupun Imogiri Surakarta dilepaskan dari daerah swatantra Tingkat II bersangkutan dan dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Meskipun demikian, khusus untuk kompleks makam baik di Kotagede maupun Imogiri, nuansa Yogya­karta dan nuansa Surakarta hing­ga sekarang tetap terasa. Hal ini dikarenakan khusus untuk kom­pleks makam memang masih dike­lola oleh kedua penguasa tradisi­onal tersebut.
Masjid Mataram

Mesjid Mataram Merupakan Mesjid utama keraja¬an, dimana segala kehidupan kea¬gamaan Islam negara diselengga¬rakan. Mesjid Mataram memiliki sejumlah nama lain yang terkait dengan peran dan fungsinya, yakni  Mesjid Agung, Mesjid Gedhe, Mes¬jid Jami’.
Mesjid Mataram terletak di selatan Pasar Kotagede, barat Kampung Alun-alun. Mesjid berdiri dalam satu kompleks dengan Pasareyan Agung Kotagede, dikelilingi oleh tembok pasangan bata setinggi sekitar 2,5 meter. Mesjid memiliki dua gerbang, yakni gerbang utama untuk jamaah di sisi timur dan gerbang pelayanan untuk kaum kudus di sisi utara.
Denah bangunan utama berbentuk bujur sangkar, ditutup dengan din-ding tembok bahan batu putih. Atap utama adalah tajug tumpang tiga, didukung oleh empat tiang utama saka guru dari kayu. Di dalam ruang utama terdapat sebuah mimbar yang konon berasal dari Palembang. Kelengkapan ruangan mesjid antara lain adalah pawes¬tren yaitu serambi khusus untuk kaum wanita yang berada di sebelah sisi selatan. Selain itu juga terapat serambi depan yang dikelilingi oleh parit.
Dalam struktur keruangan pusat kerajaan Islam di Jawa, Mesjid Mataram merupakan salah satu elemen pokok catur gatra Kotagede sebagai kuthanegara kerajaan Mataram, terletak di sisi barat Alun-alun. Mesjid ini adalah pusat sakral kerajaan. Di balik Mesjid dimakamkan orang-orang yang mempunyai kaitan erat dengan ke-beradaan kerajaan Mataram. Dengan demikian area ini memiliki nilai religius sekaligus spiritual yang sangat tinggi bagi Keraton Mataram.
Mesjid ini adalah juga sebuah simbol dan tengaran masuknya Islam ke dalam masyarakat tradisional di pedalaman Jawa yang pada saat itu masih didominasi oleh kepercayaan asli dan Hindu. Kepercayaan asli muncul dalam penataannya yang menyatu dengan makam para tokoh, sedang karakter Hindu terlihat pada langgam rancangan pagar keliling dan gapura. Unsur air yang mengelilingi tempat ibadah juga merupakan kelanjutan dari unsur Hindu.
Bangunan mesjid merupakan salah satu bangunan tertua non-candi di wilayah Yogyakarta, meski sudah mengalami beberapa kali renovasi, dan telah dimasukkan dalam bangunan yang harus dilestarikan. Bahwa ini adalah mesjid kerajaan ditandai di antaranya dengan mustaka yang berciri khas mesjid keprabon. Arsitektur mesjid pada ruang sholat utama menggunakan tipe bangunan tajug. angunan serambi Mesjid ditutup dengan atap limasan, emperan menggunakan konstruksi kuda-kuda sederhana (trusses), sedang kuncung-nya berupa pelana atau kampung.
Dalam sejarahnya, pada masa Pemanahan awalnya mesjid masih berupa langgar. Oleh Senapati, bangunan langgar ini kemudian dipindahkan atau digeser menjadi cungkup makam, sedangkan di tempat tersebut didirikan bangunan mesjid induk. Hal itu terjadi tahun 1587, sebagaimana tertera pada kelir gapura mesjid. Tahun itu adalah saat keruntuhan Pajang, dan pendirian kerajaan Mataram. Dengan demikian Mesjid Mataram menandai sa-at penobatan Senapati menjadi raja di Keraton Mataram.
Mesjid kemudian ditambah dengan serambi oleh Sultan Agung. Di dalam kompleks Mesjid Mataram terdapat sejumlah bangunan lain, seperti bangsal paseban dalam serta tempat wudhu. Bangunan tertentu adalah tambahan saat Mataram sudah pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, sehingga bangunan-bangunan tersebut juga disiapkan oleh dan bagi kedua pihak. Mesjid ini juga dilengkapi kolam di depan serambinya, agar orang yang masuk sudah suci dan terbebas dari hal-hal yang kotor atau najis.

Sentra Kerajinan Perak
Usaha membuat barang-barang seni dari perak. Mula-mula barang tersebut belum dimaksudkan untuk mencari keuntungan secara besar-besar, tetapi sekedar untuk men-cukupi kebutuhan sehari-hari. Usaha pakaryan perak tersebut pada akhirnya mengalami perkembang-an dengan adanya organisasi dan spesialisasi menjadi perusahaan perak. Walaupun sudah disebut sebagai perusahaan yang tujuan-nya adalah untuk mencari keuntungan, tetapi sifat kerajinan perak tidak banyak mengalami perubahan. Perak masih dikerjakan dengan cara yang sama, yaitu sebagai bentuk kerajinan yang me-nuntut keterampilan tangan. Peralatan dan proses pembuatan kerajinan perak secara tradisional di rumah-rumah penduduk Kotagede.
Ciri perak Kotagede pada masa lalu, berupa bentuk yang khas dan tradisional, dan cenderung statis. Baik cara mengerjakan maupun bentuk motifnya selalu mengikuti naluri yang telah diwariskan nenek moyang, serta sesuai dengan petunjuk para ahli dari keraton, ka-rena keraton sebagai pusat seni dan kebudayaan. Hubungan para pedagang perak menjadi sangat dekat dengan para keluarga keraton, sebab mereka selalu melayani pesanan barang-barang kerajinan emas dan perak yang dibutuhkan. Oleh karenanya barang-barang kerajinan perak Kotagede mempu-nyai bentuk dan motif tertentu, sesuai dengan kebutuhan dan pe-sanan keraton. Misalnya adalah timang (untuk ikat pinggang), kalung tempat sirih, tempat bedak, ceplok guling, ceplok bantal.
Dalam perkembangan pakaryan perak tersebut, kini para perajin perak, tidak lagi mengerjakan berdasarkan pesanan dari pihak keraton. Mereka kini mengerjakan secara bebas, bahkan berkreasi sendiri dengan bentuk-bentuk yang cenderung populer, kontemporer dan disesuaikan dengan selera pa-ra konsumen perak.
Hasil produk perak Kotagede dengan beraneka macam variasi, dengan nilai estetika tinggi. Sekurangnya ada empat jenis tipe produk yang ada di Kotagede, saat ini ialah: tatah ukir (bertekstur me-nonjol), casting (menggunakan alat-alat cetak), filigri (tekstur ber-lubang-lubang), dan kerajinan ta-ngan (handmade). Khususnya pa-da kerajinan yang handmade, me-merlukan kecermatan, ketelitian dan keahlian tertentu.

Pasar Legi
Pasar Kotagede telah berdiri sejak abad 16. Pasar ini juga kerap disebut Pasar Legi, karena puncak keramaiannya selalu terjadi pada hari-hari pasaran Legi (Legi adalah nama salah satu hari dalam kalender Jawa). Pada hari pasaran Legi itu, pasar akan penuh sesak baik oleh penjual dan pembeli, bahkan area pasar bisa semakin melebar jauh melebihi area pasar sebenarnya. Berbagai jenis barang dagangan, mulai dari sayur-sayuran, alat-alat pertanian, berbagi hewan unggas hidup seperti burung yang pandai berkicau, pakan ternak, bibit tanaman, pernak-pernik aksesoris kebutuhan rumah tangga, batu akik, berbagai ramuan obat tradisional hingga mebel dapat ditemui di pasar ini.
Pasar yang berada di desa Tegalgendu, tepat berada di seberang sungai Gajah Wong ini memang berada di sebuah kawasan kota tua di Yogyakarta. Jika berjalan-jalan di sekitaran pasar serta kawasan Kotagede, kita akan menemukan sebuah wajah lama Jogja yang begitu klasik serta sarat nilai historis di dalamnya. Kipo dan yangko adalah makanan khas Kotagede yang bisa diperoleh di Pasar Legi dan sekitarnya.

Sumber:


http://wisatadiyogyakarta.com/kotagede-tempat-kerajinan-perak-yogyakarta/
http://www.catatannobi.com/2013/07/ngabuburit-di-pasar-legi-kotagede-jogja.html
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar