Kotagede merupakan Ibukota Kerajaan Mataram Islam Pertama (1577),
sebagai penerus Kerajaan Demak dan Pajang. Adat-tradisi yang berkembang saat
itu menjadi cikal bakal budaya Jawa Mataraman yang adi luhung dalam arti
sebagai sumber kekuatan dalam memberi semangat pengabdian pada Sang Pencipta
dan pengabdian pada sesama untuk mencapai keselarasan hidup, kehidupan dan
penghidupan.
Walaupun mengalamai berbagai goncangan seiring dengan perkembangan
zaman (waktu), namun sisa-sisa budaya leluhur tersebut masih dapat dijumpai
sampai saat ini. Kemerosostan tajam budaya Kotagede terjadi sejak pertengahan
abad XX sehingga menjadi perhatian dunia yang menetapkan Kawasan Kotagede
menjadi salah satu dari 100 pusaka dunia yang dikhawatirkan akan punah.
Untuk itu pelestarian/ pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Kotagede
perlu segera dilakukan agar bisa bermanfaat bagi peningkatan
kesejahteraan masayarakat, jati diri daerah, menggugah semangat nasionalisme
dan menjaga salah satu pusaka dunia.
Yang unik dalam pengelolaan KCB Kotagede adalah: “Melestarikan
pusaka budaya leluhur (masa lalu) yang masih hidup dalam kehidupan masa kini
untuk meraih kesejahteraan di masa mendatang”. Hal yang terkandung dalam
ungkapan ini adalah:
1. Adanya hidup/ kehidupan yang berarti tumbuh dan
berkembang dengan segala romantika, dinamika dan dialektikanya.
2. Ada
dimensi waktu (masa lalu-masa kini-masa depan) berupa satu rangkaian berkesinambungan
dan berkelanjutuan.
Keterlibatan semua pemangku
kepentingan perlu digalang untuk mengelola KCB Kotagede ini terutama kemitraan
antara Pemerintah, Masyarakat dan Swasta yang sangat diharapkan untuk bersama
mewujudkan salah satu visi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sejarah
Sejarah Kotagede dapat dipandang menurut periodisasi umum yang
berlaku nasional, maupun khusus yang berlaku setempat. Secara umum sejarah
setempat dapat dipilah atas beberapa periode, yakni periode keraton Mataram,
periode Surakarta-Yogyakarta yang berbarengan dengan masa kolonialisme Belanda
hingga zaman Jepang, dan periode kemerdekaan (republik).
Pada awalnya, menurut Babad Tanah Jawi, Kotagede didirikan
oleh Ki Ageng Pemanahan di daerah hutan Menthaok, sebagai hadiah dari
Sultan Hadiwijaya (raja Pajang), karena keberhasilannya bersama Ki Penjawi
dan dibantu oleh Sutawijaya (anak Ki Ageng Pemanahan) mengalahkan musuh Pajang
yaitu Arya Penangsang sebagai Adipati Jipang. Daerah ini kemudian tumbuh
menjadi pusat kekuasaan Keraton Mataram.
Pada waktu pemerintahan Panembahan Senapati (gelar Sutawijaya
setelah menjadi raja Mataram), Kotagede dijadikan ibukota kerajaan, namun pada
masa Sultan Agung ibukota kerajaan dipindahkan ke Kerta. Sebagai bekas ibukota
kerajaan, Kotagede mempunyai ciri-ciri khusus, antara lain masih adanya status
abdi dalem, peninggalan-peninggalan yang keramat dan bersejarah.
Pada periode kerajaan Surakarta-Yogyakarta, Kotagede menjadi wilayah
bersama. Kehidupan Kotagede kurang berkembang hingga hadirnya para pengusaha
dan perajin. Industri kerajinan dan niaga mencapai keemasannya sejak sekitar 1900an.
Pada saat itu tumbuh perhatian khusus dari kedua kerajaan tersebut terhadap
karya kesenian dan kerajinan Kotagede yang didukung oleh kemampuan niaga para
juragan kerajinan dan pedagang. Produk periode ini adalah munculnya predikat
“kota perak” bagi Kotagede. Pada saat itu juga muncul gerakan keagamaan Islam
di Kotagede.
Pada masa kemerdekaan, Kotagede menjadi bagian dari wilayah kota
Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Sementara itu kejayaan Kotagede sebagai pusat
kerajinan perak dan perniagaan cenderung surut. Pada dekade belakangan
perhatian masyarakat setempat beralih dari mengandalkan ketrampilan dalam
industri kerajinan menjadi mengejar ilmu (pendidikan).
Merupakan kawasan cagar budaya yang didasarkan pada keberadaan
data arkeologi sebagai bekas ibukota Mataram yang pertama, dan berkronologi
tahun 1582 – 1640 M. Batasan fisik kawasan situs mengacu kepada batasan fisik
kota lama, yaitu sebuah kawasan yang dibatasi oleh baluwarti atau tembok
kota beserta jagang yang berada di luarnya (lihat: Baluwarti).
Lokasi situs sekarang kurang lebih 6 Km arah tenggara dari pusat kota
Yogyakarta.
Kotagede menjadi pusat pemerintahan pada masa Panembahan Senapati
hingga sebagian masa Sultan Agung, sehingga pada saatnya dahulu banyak
terdapat fasilitas yang berhubungan dengan peran tempat ini sebagai sebuah
ibukota kerajaan. Di dalam situs terdapat banyak peninggalan arkeologis
seperti: reruntuhan tembok beteng, reruntuhan cepuri, singgasana raja, Mesjid
Gede, makam raja dan kerabat, kampung adat.
Kotagede menjadi pusat pemerintahan Keraton Mataram tidak lama
yaitu sekitar 58 tahun, dimulai sejak jatuhnya Pajang pada tahun 1582 M sampai
dengan tahun 1640 M. Pada awalnya, wilayah Mataram merupakan perdikan di bawah
kekuasaan Kerajaan Pajang. Dalam perkembangannya, Ki Ageng Pemanahan
menyerahkan wilayah Mataram kepada puteranya yang bernama Sutawijaya yang
kemudian bergelar Raden Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya setelah menggantikan
ayahnya kemudian membangun tembok keliling untuk memperkuat wilayah Mataram.
Setelah tembok keliling dibangun, Sutawijaya kemudian menyerang Pajang dan
berhasil mengalahkannya. Selanjutnya Sutawijaya menjadi raja Mataram yang
pertama dan bergelar Senapati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama. Oleh Panembahan
Senapati, Kotagede ditetapkan sebagai pusat pemerintahannya. Dalam masa
pemerintahan Sutawijaya, kerajaan ini meuaskan kekuasaannya di berbagai
wilayah di Jawa.
Dalam masa pemerintahan selama kurang lebih setengah abad, Kotagede
telah menempatkan diri tampil dalam panggung sejarah dan kebudayaan di Jawa.
Berdasarkan data sejarah, dalam masa yang pendek tersebut Keraton Kotagede
telah memiliki tata ruang dan komponen-komponen kota seperti lazimnya
kota-kota pusat pemerintahan kerajaan Islam. Kotagede sebagai kota pusat
pemerintahan dibuktikan dengan adanya tinggalan arkeologis, yaitu: keraton
atau kedhaton, benteng, tembok keliling, jagang, cepuri, Mesjid,
pasar, permukiman, dan makam.
Komponen-komponen tersebut merupakan data yang dapat mencerminkan
kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat pendukungnya, tentunya termasuk
kondisi politik yang ikut bermain di dalamnya.
Sebagai sebuah kawasan peninggalan purbakala, Kotagede pernah
mengalami berada di bawah dua pemerintahan tradisional yang secara tradisi
memiliki sistem pemerintahan sendiri, yaitu: 1) Kotagede Yogyakarta dan 2)
Kotagede Surakarta. Oleh karena itu, kawasan ini sempat disebut sebagai tanah
mencil atau enclave yaitu suatau kawasan atau wilayah yang terletak
di wilayah pemerintahan lain atau berbeda.
Hal ini dapat dipahami mengingat Kotagede merupakan pusaka bagi
Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta. Status ini merupakan
kesepakatan yang diambil oleh kedua belah pihak dengan berlandaskan kepada pemikiran
bahwa Kotagede merupakan pusaka leluhur bag keduanya, dan di sana terdapat
makam pendiri Mataram yang nantinya menurunkan kedua belah pihak, yaitu Ki
Gede Mataram dan Panembahan Senapati.
Adanya dua makam leluhur dari kedua kerajaan baik di Kotagede (Ki
Gede Mataram dan Panembahan Senapati) maupun di Imogiri (Sultan Agung) maka
pengelolaan dan pemeliharaan diurus oleh kedua belah pihak.
Masjid Mataram
Mesjid Mataram Merupakan Mesjid utama keraja¬an, dimana segala
kehidupan kea¬gamaan Islam negara diselengga¬rakan. Mesjid Mataram memiliki
sejumlah nama lain yang terkait dengan peran dan fungsinya, yakni Mesjid
Agung, Mesjid Gedhe, Mes¬jid Jami’.
Mesjid Mataram terletak di selatan Pasar Kotagede, barat Kampung
Alun-alun. Mesjid berdiri dalam satu kompleks dengan Pasareyan Agung Kotagede,
dikelilingi oleh tembok pasangan bata setinggi sekitar 2,5 meter. Mesjid
memiliki dua gerbang, yakni gerbang utama untuk jamaah di sisi timur dan
gerbang pelayanan untuk kaum kudus di sisi utara.
Denah bangunan utama berbentuk bujur sangkar, ditutup dengan
din-ding tembok bahan batu putih. Atap utama adalah tajug tumpang tiga,
didukung oleh empat tiang utama saka guru dari kayu. Di dalam ruang utama
terdapat sebuah mimbar yang konon berasal dari Palembang. Kelengkapan ruangan
mesjid antara lain adalah pawes¬tren yaitu serambi khusus untuk kaum wanita
yang berada di sebelah sisi selatan. Selain itu juga terapat serambi depan yang
dikelilingi oleh parit.
Dalam struktur keruangan pusat kerajaan Islam di Jawa, Mesjid
Mataram merupakan salah satu elemen pokok catur gatra Kotagede sebagai
kuthanegara kerajaan Mataram, terletak di sisi barat Alun-alun. Mesjid ini
adalah pusat sakral kerajaan. Di balik Mesjid dimakamkan orang-orang yang
mempunyai kaitan erat dengan ke-beradaan kerajaan Mataram. Dengan demikian area
ini memiliki nilai religius sekaligus spiritual yang sangat tinggi bagi Keraton
Mataram.
Mesjid ini adalah juga sebuah simbol dan tengaran masuknya Islam
ke dalam masyarakat tradisional di pedalaman Jawa yang pada saat itu masih
didominasi oleh kepercayaan asli dan Hindu. Kepercayaan asli muncul dalam
penataannya yang menyatu dengan makam para tokoh, sedang karakter Hindu
terlihat pada langgam rancangan pagar keliling dan gapura. Unsur air yang
mengelilingi tempat ibadah juga merupakan kelanjutan dari unsur Hindu.
Bangunan mesjid merupakan salah satu bangunan tertua non-candi di
wilayah Yogyakarta, meski sudah mengalami beberapa kali renovasi, dan telah
dimasukkan dalam bangunan yang harus dilestarikan. Bahwa ini adalah mesjid
kerajaan ditandai di antaranya dengan mustaka yang berciri khas mesjid keprabon.
Arsitektur mesjid pada ruang sholat utama menggunakan tipe bangunan tajug.
angunan serambi Mesjid ditutup dengan atap limasan, emperan menggunakan
konstruksi kuda-kuda sederhana (trusses), sedang kuncung-nya berupa pelana atau
kampung.
Mesjid kemudian ditambah dengan serambi oleh Sultan Agung. Di
dalam kompleks Mesjid Mataram terdapat sejumlah bangunan lain, seperti bangsal
paseban dalam serta tempat wudhu. Bangunan tertentu adalah tambahan saat
Mataram sudah pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, sehingga
bangunan-bangunan tersebut juga disiapkan oleh dan bagi kedua pihak. Mesjid ini
juga dilengkapi kolam di depan serambinya, agar orang yang masuk sudah suci dan
terbebas dari hal-hal yang kotor atau najis.
Sentra Kerajinan Perak
Usaha membuat barang-barang seni dari perak. Mula-mula barang
tersebut belum dimaksudkan untuk mencari keuntungan secara besar-besar, tetapi
sekedar untuk men-cukupi kebutuhan sehari-hari. Usaha pakaryan perak tersebut pada
akhirnya mengalami perkembang-an dengan adanya organisasi dan spesialisasi
menjadi perusahaan perak. Walaupun sudah disebut sebagai perusahaan yang
tujuan-nya adalah untuk mencari keuntungan, tetapi sifat kerajinan perak tidak
banyak mengalami perubahan. Perak masih dikerjakan dengan cara yang sama, yaitu
sebagai bentuk kerajinan yang me-nuntut keterampilan tangan. Peralatan dan
proses pembuatan kerajinan perak secara tradisional di rumah-rumah penduduk
Kotagede.
Ciri perak Kotagede pada masa lalu, berupa bentuk yang khas dan
tradisional, dan cenderung statis. Baik cara mengerjakan maupun bentuk motifnya
selalu mengikuti naluri yang telah diwariskan nenek moyang, serta sesuai dengan
petunjuk para ahli dari keraton, ka-rena keraton sebagai pusat seni dan
kebudayaan. Hubungan para pedagang perak menjadi sangat dekat dengan para
keluarga keraton, sebab mereka selalu melayani pesanan barang-barang kerajinan
emas dan perak yang dibutuhkan. Oleh karenanya barang-barang kerajinan perak
Kotagede mempu-nyai bentuk dan motif tertentu, sesuai dengan kebutuhan dan
pe-sanan keraton. Misalnya adalah timang (untuk ikat pinggang), kalung tempat
sirih, tempat bedak, ceplok guling, ceplok bantal.
Dalam perkembangan pakaryan perak tersebut, kini para perajin
perak, tidak lagi mengerjakan berdasarkan pesanan dari pihak keraton. Mereka
kini mengerjakan secara bebas, bahkan berkreasi sendiri dengan bentuk-bentuk
yang cenderung populer, kontemporer dan disesuaikan dengan selera pa-ra
konsumen perak.
Hasil produk perak Kotagede dengan beraneka macam variasi, dengan
nilai estetika tinggi. Sekurangnya ada empat jenis tipe produk yang ada di
Kotagede, saat ini ialah: tatah ukir (bertekstur me-nonjol), casting
(menggunakan alat-alat cetak), filigri (tekstur ber-lubang-lubang), dan
kerajinan ta-ngan (handmade). Khususnya pa-da kerajinan yang handmade,
me-merlukan kecermatan, ketelitian dan keahlian tertentu.
Pasar Legi
Pasar Kotagede telah berdiri sejak abad 16. Pasar ini juga kerap
disebut Pasar Legi, karena puncak keramaiannya selalu terjadi pada hari-hari
pasaran Legi (Legi adalah nama salah satu hari dalam kalender Jawa). Pada hari
pasaran Legi itu, pasar akan penuh sesak baik oleh penjual dan pembeli, bahkan
area pasar bisa semakin melebar jauh melebihi area pasar sebenarnya. Berbagai
jenis barang dagangan, mulai dari sayur-sayuran, alat-alat pertanian, berbagi
hewan unggas hidup seperti burung yang pandai berkicau, pakan ternak, bibit
tanaman, pernak-pernik aksesoris kebutuhan rumah tangga, batu akik, berbagai
ramuan obat tradisional hingga mebel dapat ditemui di pasar ini.
Pasar yang berada di desa Tegalgendu, tepat berada di seberang
sungai Gajah Wong ini memang berada di sebuah kawasan kota tua di Yogyakarta.
Jika berjalan-jalan di sekitaran pasar serta kawasan Kotagede, kita akan
menemukan sebuah wajah lama Jogja yang begitu klasik serta sarat nilai historis
di dalamnya. Kipo dan yangko adalah
makanan khas Kotagede yang bisa diperoleh di Pasar Legi dan sekitarnya.
Sumber:
http://wisatadiyogyakarta.com/kotagede-tempat-kerajinan-perak-yogyakarta/
http://www.catatannobi.com/2013/07/ngabuburit-di-pasar-legi-kotagede-jogja.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar